All posts tagged: persepsi

liat baik..

Setelah sekian lama vakum karena “perangkat perang” masuk bengkel, akhirnya bisa “berjuang” kembali.. Sempet dag dig dhuer menunggu hasil analisa dari tempat servis, ternyata yang rusak adalah harddisknya.. Hwuuee.. Memang sesuai dugaan juga sih, karena memang berasa makin lemot.. Dan pas sebelum servis itu, lagi ngopy file, tau2 nge-crash.. Masuk ke OS-nya aja udah nggak bisa.. Pas dapet kabar: “Semua datanya bakal wassalam nih mas..”.. Wakwaww.. Serasa disamber gledek bervoltase tinggi.. Hehe.. Lumayan jleb gitu.. Memang sih, sebagian data penting di harddisk rusak itu udah gw backup ke harddisk external.. Tapi kerjaan gw dua mingguan terakhir belum sempet gw backup.. Yaa, mana ngira tuh harddisk bakal berpulang secara mendadak gitu.. Jadi, sejumlah gambar “mateng”, sketsa mentah ide, dan gawean yang tinggal disubmit aja, hilang bagai bakso tertelan nafsu makan manusia.. Sempet kepikiran dan nggak enak makan tidur satu dua hari.. Ya gitu deh, ada rasa penyesalan, kenapa file2 itu nggak segera gw bikin backup-annya, kenapa nggak gw simpen di cloud storage aja dan pake fitur auto sync.. Tapi percuma lah larut terus menerus dalam penyesalan, …

baik buruk di akal..

Suatu ketika, seorang guru Zen bersama muridnya sedang dalam perjalanan pulang ke kuil mereka.. Rutenya bakalan melewati sebuah sungai deras, tanpa jembatan.. Kalo pingin menyeberang, cuman ada seutas tali yang diikatkan ke pohon, dari sisi sungai yang satu, ke pohon di sisi seberangnya.. Jadi harus nyemplung, nahan arus sambil pegangan tali, terus pelan2 deh nyeberangnya.. Saat sampai di sungai tersebut, ternyata ada gadis berbadan mungil.. Wajahnya bingung, kelihatan pengen menyeberang, namun ragu melihat derasnya air sungai dan hanya ada seutas tali.. Guru Zen bertanya pada si gadis, dan benar saja, dia memang ingin menyeberang, namun takut terbawa arus karena mungil.. Lantas guru Zen menawarkan pertolongan dengan menggendong si gadis sambil menyeberang sungai.. Sementara si murid (yang sudah cukup banyak bawa banyak barang di punggungnya) kaget.. “Begimana mungkin guru mau menggendong gadis itu ?!?.. Kan menyentuh wanita itu dilarang.. Begitu pikirnya..” Lantas mereka pun menyeberang.. Selama penyeberangan, pikiran si murid pun tetap “bergelut” soal kontradiksi perbuatan gurunya.. Sampai di seberang, gadis itu pun turun dari gendongan, mengucapkan terima kasih, kemudian pergi ke arah yang lain.. Perjalanan …

interaksi diri + Qur’an..

Gw ngerasa kita nih seakan lebih sering berinteraksi dengan ‘orang’ dalam belajar agama, dan kurang berani berinteraksi dengan Qur’an langsung secara individu.. Lebih percaya kata2 habib (??), ustad atau penceramah daripada mencoba membaca sendiri.. Padahal wahyu pertama itu kan “BACA” ya, bukan “DENGAR”.. Fritz Perls, seorang Doktoral medicine, kemudian menjadi psikiatris asal Jerman, menulis buku “Gestalt Therapy Verbatim” (1969).. Ia menyatakan “Truth can only be tolerated if you discover it yourself..”.. Semua yang kita ketahui sebenarnya bukan kebenaran objektif, karena lensa persepsi seseorang lah yang membentuk mana benar dan mana salah.. Masalahnya, lensa persepsi kita dibentuk oleh subjektivitas banyak orang.. Jadi menurut Fritz, kebenaran sejati hanya bisa dibangun oleh diri sendiri.. Interaksi dengan Qur’an nggak mesti melalui penafsiran yg terkesan berat, tapi juga bisa melalui cara sederhana seperti Tadabbur = mengambil manfaat (ada di postingan kemaren).. Kalo gw baca2 lagi, memang sepertinya di dalam Qur’an nggak ada pernyataan langsung  / menggunakan kata2 tafsir / menafsirkan untuk berinteraksi dengan Qur’an.. Yang ada justru kata Tadabbur (QS. 4:82 dan QS. 47:24).. Anggaplah gw seorang tukang sayur atau …

lensa persepsi..

Seseorang selalu memandang dunia ini dengan persepsi.. Di banyak referensi disebutkan, persepsi seseorang bersifat subjektif.. Analogi paling sederhananya dari teori ini: persepsi ibarat jenis lensa kamera DSLR.. Tau jenis lensa kamera kan ??.. Ada yang fish eye, macro, tele, wide, dsb.. Penggunaan lensa yang berbeda untuk sebuah objek yang sama, akan menghasilkan gambar yang berbeda.. Misal objeknya adalah kucing.. Coba ambil foto si kucing dengan lensa fish eye, si kucing akan keliatan kembung membulet.. Kalau pakai tele, bisa jadi hasil foto si kucing cuman kupingnya doang karena efek zoomnya.. Padahal objeknya tetep sama: kucing.. Intinya, penggunaan jenis lensa bisa “mengambil” hasil akhir yang berbeda, meskipun objeknya sama.. Dengan teori ini, sangat logis kenapa haters selalu mengambil kesimpulan yang berbeda dibandingkan “lovers”.. Taroklah objeknya misalnya Jokowi.. Apapun yang dilakukannya akan disimpulkan sebagai kesalahan dengan lensa (baca: persepsi) kebenciannya.. Sedangkan “lovers”, atau “netralers”, umumnya akan mengambil kesimpulan yang berbeda, bahkan bisa bertolak belakang dengan haters.. Karena mereka melihatnya dengan lensa cinta atau netral.. Persepsi ini bisa terbentuk dari pelajaran seseorang bertahun2.. Gw setuju dengan Arifin, MBA (2012) …

minimalisir bias pikir..

Lanjut dari postingan sebelumnya, bias pikir / kogintif seringkali terjadi, bahkan terkadang tanpa kita sadari (bias blind spot).. Kalo di Barat sana, ada event April Mop, di saat itu orang boleh berbohong atau bahasa halusnya “menguji keluguan orang lain”.. Hehe.. April Mop di tahun 1957, British Broadcasting Corporation (BBC) menayangkan laporan tentang spageti yang dipanen dari sebuah pohon.. Banyak orang yang terjebak kemudian menelpon BCC dan ingin tahu gimana caranya melakukan itu… Moral dari kisah ini sudah jelas: jangan mempercayai begitu saja atas apa yang dibaca atau didengar.. Isi dari media itu orang2 juga, entah itu “orang kita” atau orang luar.. Dan seperti postingan gw sebelumnya, ada kecenderungan biologis dari otak untuk bias / disimpangkan supaya percaya pada majalah yang kita beli, saluran televisi yang kita tonton, dan orang yang kita sukai.. Menurut Newberg & Waldman (2013) dalam “Born to Believe”, langkah pertama untuk jadi pemikir atau orang beriman yang lebih baik adalah menyadari, bahwa setiap persepsi dan pemikiran mengandung sejumlah bias.. Soalnya, setiap keyakinan yg kita pegang adalah hasil kompromi antara yang sesungguhnya terjadi …