Month: October 2016

otakku pemalas..

Pernah ngalamin kayak begini ??.. Lagi asyik2 kerja atau “on-fire”, tauk2 keganggu notif dari messenger, fesbuk, atau email promo situs belanja online.. Lantas jadi “terjebak”, konsentrasi jadi berubah, dan akhirnya justru malah jadi asyik menindak lanjuti notif2 tersebut.. Daann, tauk2 udah jam pulang kantor.. hehe.. Kalo dari sebuah referensi, dikatakan bahwa manusia adalah makhluk reaktif.. Dia akan mudah bereaksi terhadap apapun yang mengusiknya.. Serajin atau semales apapun seseorang, sebenarnya organ yang ada di kepalanya, alias otaknya, tetaplah males.. Yes, otak memang diciptakan kayak begitu supaya bisa menghemat energinya seefisien mungkin.. Otak manusia memang canggih, punya kemampuan super hebat, meski dengan energi kurang dari 13 watt..!! Nah, yang jadi masalah, sebuah studi juga menyimpulkan kalo otak manusia itu lebih suka bereaksi terhadap hal2 yang mudah.. Pakar kreativitas Mihaly Csikszentmihalyi menyatakan kalo kita sejatinya lebih kuat bereaksi / tertarik kuat banget pada hal2 yang gampang, nyaman, dan udah jadi kebiasaan.. Dan untuk bisa melawan / melampaui kondisi tersebut bukanlah hal yang mudah.. Kenapa kok cuma “bereaksi” bisa jadi masalah ??.. Karena kalo dipikirin lebih dalam, tindakan dengan …

imun kontra..

Prof. Leon Festinger menyatakan, seseorang hidup di dunia ini pasti membangun urutan2, dan kata kunci untuk membangun urutan2 tersebut adalah konsistensi.. Dengan konsistensi itulah manusia membangun rutinitas dan kebiasaan: seperti jam makan & jam tidur, memilih tempat duduk favorit di sarana transportasi, termasuk menjadikan sebuah makanan menjadi favoritnya.. Dan kalo konsitensi ini terganggu, maka akan terjadi ketidak nyamanan.. Ternyata kognisi seseorang pun dibentuk dengan cara seperti itu.. Ada pola2 pikir yang akhirnya menjadi kebiasaan atau keyakinan.. Dan bila ada sesuatu yang kontradiksi dengan pikirannya atau keyakinannya sendiri, maka akan timbul perasaan nggak nyaman.. Kondisi kayak begitulah yang Festinger (1960) sebut dengan “Cognitive Dissonance”.. Contoh situasi kognisi nggak nyaman: Tau kalo youtube-an terus itu menghambat pekerjaan tapi tetep youtube-an; patah hati tapi tetep berpikir akan baik2 saja; atau tau kalo merokok itu buruk tapi tetep merokok.. Ketidak nyamanan ini bisa dihilangkan dengan cara2 berikut: (1) Mengurangi derajat kepentingan yang kontra (kerjaan ntar aja, mumpung wifi kantor kenceng & gratis, – youtube-an lebih penting..), (2) Menambah keyakinan2 baru (biarin gw ditolak, nanti dia pasti nyesel..), atau : (3) …

kontekstual donk..

Kemaren ngobrol sama calon klien, ngomongin soal konteks (bisa berupa lingkungan, keadaan, budaya, waktu, zaman, dan sejenisnya..).. Lantas di kepala gw jadi muncul pertanyaan: sebenernya gimana sih hubungan konten dan konteks.?? Banyak definisi konteks, diantaranya, menurut Deddy Mulyana (2005) dalam “Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar”, konteks merupakan sebab / alasan terjadinya suatu pembicaraan, dan menjadi sangat berperan dalam pemahaman makna serta informasi.. Terkait dengan konteks, Barnett dkk (2005) juga mengembangkan sebuah teori yang namanya Coordinated Management of Meaning (CMM).. Salah satu konsep dari teori tersebut menyatakan bahwa konteks menjadi titik acuan dari pemaknaan dan tindakan seseorang.. Menurut Mellisa (2009) dalam ‘The Fundamental of Branding’, “bekerjanya” sebuah konten, sangat bergantung pada konteks.. Contohnya, strategi komunikasi brand gadget yang canggih banget (konten), sangat tidak bisa “bekerja” di sebuah tempat yang masih ‘primitif’ yang bahkan handphone saja orang jarang liat (konteks).. Bisa dibilang, sampainya makna konten dengan tepat pada user, bergantung pada konteksnya.. So, untuk memahami konten teks sebenar2nya, harus turut memperhatikan konteks.. Karena kalau nggak, akan bisa jadi aneh, nggak cocok atau janggal.. Contoh sederhananya bisa dari kasus …

niat & totalitas..

Dulu gw berpikiran kalo niat itu hanya di awal tindakan.. Karena yang diajarkan dulu itu: sebelum mau sholat kita harus baca niat dulu, sebelum puasa niat dulu, dan sebagainya.. Makin ke sini pemahaman akan niat itu bergeser.. Niat itu adanya nggak hanya di awal, tapi meliputi semua kegiatan / aktivitas dari awal sampai akhir / selesai.. Misalnya, seseorang berniat untuk menulis sebuah buku seratus halaman.. Untuk bisa selesai dengan hasil maksimal, niat dia harus meliputi keseluruhan dari proses menulis itu.. Kalau niatnya nggak kuat, bisa jadi di halaman 40 dia sudah berhenti, atau tetep nulis tapi ogah2an atau seadanya.. Itulah kenapa kita sering berkomentar “Nggak niat sih lu..” pada mereka yang bekerja asal2an, atau nggak kelar.. Dan untuk mereka yang kerjaannya sempurna atau bagus banget, komentar yang sering keluar: “Gokil !! Niat banget sih bikinnya..”.. Buya Hamka (1994) dalam bukunya “Falsafah Hidup” pun menyarankan untuk memperbaiki niat, menegakkan niat, dan meluruskan niat.. “Kaya miskin, terkenal atau tidak, semuanya hanya warna hidup belaka, bukan hakikat hidup.. Hakikat hidup itu ialah tujuan, niat suci, dan sikap sederhana..” …