Karena gw jadi dosen pembimbing mahasiswa yang tugas akhirnya bikin komik tentang imam Syafi’, gw jadi baca2 lagi deh kisah2 beliau.. Benar2 manusia yang hebat.. Beliau benar2 pencari ilmu sejati.. Plus nggak pernah memaksakan “paham”nya atau pendapatnya harus diterima oleh orang lain.. Mau sependapat oke, nggak ya oke juga.. Benar2 jauh dari sifat merasa paling benar..
Yang tambah bikin gw takjub adalah beraninya beliau berbeda pemikiran dengan gurunya.. Nggak taqlid buta sama sekali.. Malahan beliau berani bikin mahzab sendiri.. Seakan menyampaikan pesan: “kemerdekaan berpikir” bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dikekang erat2 oleh pola2 pikir lama.. Karena beliau beranggapan semua manusia (termasuk guru2nya) adalah manusia biasa.. Dan yang namanya manusia, pasti bisa salah..
Plus lagi, setiap zaman punya konteksnya sendiri2.. Tema “pemikiran” saat itu mungkin belum bisa seramai sekarang.. Dulu IPTEK masih sangat terbatas.. Medsos belum ada.. Gw membayangkan, kira2 “pemikiran” seperti apa yang akan dilontarkan Imam Syafi’i kalau beliau hidup di era media baru dan teknologi informasi secanggih sekarang.. Gw mendambakan kehadiran orang2 yang berani membongkar pemikiran2 lama, yang berani memadukan “kekinian” dengan esensi ajaran2 baik terdahulu.. Karena Islam punya sejarah intelektual yang kuat, tidak hanya ritual, apalagi hanya atribut yang eksponensial..
Imam Syafi’i sangat pantas dijadikan teladan bagi orang2 yang ingin menjadi pembelajar sejati.. Dalam sebuah buku gw pernah baca: kalo dalam bahasa Jepang, kata belajar itu “manabu”, dan asal katanya adalah “manebu” = “maneru”.. Maneru ini artinya “meniru” dalam bahasa Indonesia.. Umumnya langkah pertama dari suatu pembelajaran dimulai dari meniru.. Itulah kenapa perlu adanya guru untuk belajar tentang sesuatu.. Entah itu guru yang hadir secara fisik langsung, atau non-fisik: pemikiran / tulisan / buku..
Gw liat ada persamaan antara yang dijalankan oleh Imam Syafi’i, dengan yang diungkapkan oleh Makoto Sichida (2014) dalam bukunya “Whole Brain Power”.. Menurutnya saat mempelajari sesuatu, ada tiga tahapannya yakni: menjaga, merusak, dan melepaskan diri.. Pertama kali murid meniru dan “menjaga” cara2 yang didapat dari guru.. Setelah itu murid “merusak”, sedikit demi sedikit menambahkan perbaikan atas hal2 yang dipelajari.. Dan pada akhirnya, si murid “melepaskan diri” dari guru, dan membangun caranya sendiri.. Tahap akhir ini gw pikir ya saat2 dimana Imam Syafi’i “lepas” dari gurunya dan membuat mazhab sendiri..
Metode Sichida ini membuat si murid harus mampu berfikir dan punya cara2 sendiri yang berbeda dengan gurunya.. Karena dengan begitulah kemajuan bisa tercipta.. Pada zaman Heian (794 – 1185) di Jepang, ada satu orang hebat yang dijuluki sejajar dengan “langit” & “lautan” berkata:
“Yang disebut sebagai harta suatu negara bukanlah emas dan perak.. Akan tetapi seberapa banyak orang yang berpikir, apapun pekerjaannya, apapun yang dimilikinya, itulah harta yang terbaik, serta dengan sepenuh hati bekerja dengan kemampuannya.. Hal inilah yang akan menentukan perbedaan makmur atau tidaknya suatu negara.. Orang2 yang berpikir adalah harta suatu negara..”..
Waw.. Nggak heran ya ada banyak sekali ayat di Al-Qur’an yang menyuruh kita untuk berfikir (tafakkarun).. Lantas, gimanakah pada prakteknya ??.. (^_*!)..
oh andai semua guru di Indonesia bisa menerapkan konsep ini, pasti kualitas bangsa ini akan menjulang.
LikeLike
Yes.. Di sini rasa2nya sangat kurang terimplementasikan..
LikeLike
saya yang punya 2 anak di SD mulai ketar ketir karena sepertinya belum banyak kemajuan dengan konsep pendidikan mereka di sekolah. metode menghafal masih cara terpopuler bagi guru untuk mendeliver ilmu (baca: isi buku). kurikulum baru yang tematis itu harusnya jadi angin segar untuk pembentukan karakter anak. Itu pun jika gurunya kreatif dan bisa menularkan kreativitas mereka ke murid2. arrggghhh…
LikeLike
Balik lagi, Gie Kritis harus kontekstual, nggak asal ‘ngocol’ (kebanyakan orang Indonesia begitu, mulutnya aja gede, tapi nggak mikir).
Contoh yang sering dipakai dari Al-qur’an, adalah kasus Nabi Musa dan Bani Israel dan Sapi Betina. Tameng para ustadz kalau murid kebanyakan nanya.
Kasus kuliah disini, mahasiswa Asia takut salah, dan kebanyakan nanya, dan maunya di arahin dengan instruksi detil. Sementara dosennya sih yang penting kamu ngga asal bikin dan ada dasarnya dan siap untuk mempertahankan. Bagusnya dosen sini nggak nge-hujat 😀
..udah ah jadi sok teu…kan ini halamannya ustadz ogie…
LikeLike
Haha.. “(kebanyakan orang Indonesia begitu, mulutnya aja gede, tapi nggak mikir)”… NOTED..!!.. Setuju Roel.. Satu lagi, mungkin kurang banyak baca2 juga.. Kalo yang dibaca sedikit, bisa jadi mikirnya jugak jadi kurang luas..
Ustad ?!? Ustad dari Hong kong !!
LikeLike
Pingback: ahli bisa salah.. | halaman guna guna