Ternyata otak kita cenderung lebih mudah untuk langsung percaya “kata2” orang lain ketimbang mempertanyakannya dulu.. Gimana nggak, karena setelah lahir, ada masa2 (bertahun2 malah) dimana seseorang mau nggak mau mesti percaya katanya orang tanpa bisa cek and ricek.. Hehe.. Ya iya lah.. Mosok abis lahir langsung bisa baca buku sains ?? Ditambah lagi secara neurologis, ada kecenderungan juga dari otak untuk hanya menerima keyakinan yang sepaham, dan menolak keyakinan yang dipegang orang lain, bahkan bisa mengklaim kalo yang berbeda keyakinan adalah sesat..
Newberg & Waldman dalam bukunya “Born to Believe” (2013), menyebutkan, dari satu sisi, otak orang dewasa itu seperti anak2: gampang percaya dengan kata2 orang lain, terutama kalo hal tersebut menarik bagi fantasi dan hasrat terpendamnya.. Di Indonesia yang indeks minat bacanya rendah, yang kayak gini berasa banget.. Banyak sekali yang bersandar pada “katanya” atau opini si A, atau si B, ketimbang memilih cek fakta dengan baca2 sendiri, atau mencoba menelaah terlebih dahulu bukti2 yang jelas.. Maka, berita dari website abal2 pun tidak jarang dipercaya begitu saja dan di share rame2..
Yang jadi masalah adalah saat kita sulit untuk melepas sifat percaya begitu saja sama apa yang “masuk” ke kita.. Terlebih di era keterbukaan informasi begini.. Newberg adalah seorang profesor dan spesialis di bidang kedokteran nuklir (Waw.!! Nuklir ternyata ada dokternya loh !!..), dan kardiologi nuklir (eh..?? ini apaan yah ??.. haha.).. Sedangkan Waldman merupakan partner beliau yang telah menulis sejumlah buku mengenai hubungan personal, kreativitas, sekaligus editor pendiri jurnal akademis “Transpersonal Review” yang mencakup bidang psikologi Jungian, kajian keagamaan, dan pengobatan pikiran / tubuh..
Menurut mereka di era sekarang ini sebaiknya seseorang juga melatih diri untuk bisa bersikap sedikit skeptis.. Skeptis loh yaa, bukan pesimis, jangan disamakan.. Filosofi skeptisisme berawal dari zaman Plato, yang pertama kali menegakkan mazhab “akademis”.. Seorang skeptis adalah orang yang memilih untuk mempelajari kembali dengan seksama apakah keyakinannya udah bener.. Ia akan senantiasa menjaga pikirannya tetap terbuka (bersedia mempertimbangkan argumen dari kedua sisi)..
Skeptisisme, keterbukaan pikiran, dan rasa percaya dalam dosis yang tepat kayaknya emang perlu di saat siapa saja serta “segalanya” bisa di share di medsos.. Terlebih kalo apa2 yang di share itu membuat seseorang berasumsi mengenai masalah2 moral, politik, dan agama.. Terbuka dan percaya begitu saja tanpa sedikit skeptisisme bisa menimbulkan masalah baru.. Namun skeptis tanpa rasa percaya bisa ngerusak kemampuan seseorang untuk mempercayai apa2 yang perlu supaya bisa hidup normal..
Skeptis kalo kelebihan, semua ide2, gagasan baru, dan perubahan nggak akan dianggap oke meski tuh ide baru di tahap awal.. Bahkan kalo udah parah skeptisisme bisa mengarah pada sinisme, yakni keadaan dimana seseorang selalu meragukan ketulusan dan validitas sudut pandang orang lain.. Dan psikiater, kardiolog pun setuju, kalo hal ini bisa membawa seseorang kepada kemarahan, keketusan, kebencian, penghinaan dan akhirnya bisa berakibat buruk pada kondisi fisik seseorang..
Nggak heran ya, Alloh menganjurkan supaya seseorang untuk memeriksa kembali kebenaran sebuah berita (QS: 49:6).. Karena otak ciptaan Alloh, maka Dia tau persis bias2 atau kekurangan dari ciptaanNya sendiri, maka di “manual book” manusia pun ditulis solusinya.. Dan ini sebenarnya udah jadi PILIHAN manusia, mau cek ricek lagi atau nggak.. Padahal akibatnya udah dijelaskan juga di ayat yang sama: supaya nggak timbul musibah pada suatu kaum..
orang-orang bukannya udah skeptis, semua juga gak dipercaya, semua di nihilkan,semua direlatifkan,
LikeLike
skeptis sampai pada titik nyinyir parah
LikeLiked by 1 person
Hehehe.. ya gitu deh kalo udah over.. mana tentram yak kalo hidup begitu..
LikeLike
Penjelasan yang masuk akal mengenai budaya manusia dalam menerima informasi tanpa kemudian mencernanya. Baru tahu saya. Tapi saya harus skeptis nih, apakah tulisan mas Ogie sudah faktual.. hehehe (belajar skeptis)
LikeLiked by 1 person
Hahaha.. Betul mas.. memang harus begitu, siapa tahu saya salah.. Ke mahasiswa saya juga saya selalu bilang di kelas: jangan percaya saya begitu aja, cek dan baca2 lagi, mana tau saya salah.. Dosen kan bukan Dewa.. hehe..
LikeLike
Hahaha, bercanda Mas Ogie. Saya yakinlah kalo Mas Ogie yang nulis sudah direview mateng-mateng. Tapi beneran loh saya kagum dengan referensi yang mas Ogie pakai dalam penulisan artikel, ditambah lagi dikombinasikan dengan ayat suci Alquran. Dari sisi akademisnya dapet, dari sisi religinya juga dapet. Dan klop banget dengan duniawi. Mungkin ini yang menyebabkan tulisan Mas Ogie selalu saya nantikan.
LikeLiked by 1 person
Hehe.. Makasih mas.. Saya memang “penasaran” sama Al-Qur’an, kepo gitu bawa’annya.. Entah sejak kapan, menarik benang merah antara sains dan Qur’an menjadi kesenangan tersendiri bagi saya.. Semoga nanti bisa ketemu yang lain2 lagi yang lebih seru.. haha..
LikeLike