Month: January 2020

tarian kontribusi..

Pertama kali gw “berkenalan” dengan psikologi-nya Adler itu saat nggak sengaja sekilas liat dorama jepang di tipi.. Pas makan siang, bini’ gw kebetulan lagi nonton itu.. Dan pas betul, saat itu adegannya tokoh utama lagi ngikutin perkuliahan di kelas.. Si dosen dari depan kelas menyatakan salah satu dari konsep teori Adler: “Sikap / attitude seseorang di masa sekarang, ditentukan oleh masa depannya..” Teori2 Adler banyak bertentangan dengan teori Sigmund Freud.. Adler pernah menjadi siswa dari Freud.. Usianya terpaut 14 tahun lebih muda.. Bertolak belakang dengan Adler, Freud-ian menganggap: sikap2 atau attitude seseorang di saat sekarangnya / masa kininya, ditentukan oleh masa lalunya.. Akhirnya Adler “keluar” dari paham Freud dan mengembangkan teori2nya sendiri yang kemudian dikenal sebagai psikologi individual.. Karena penasaran, gw mencoba menggali lebih dalam tentang psikologinya Adler melalui sebuah buku.. Ternyata pemikiran yang ditawarkan Adler benar2 gokil.. Banyak konsep2 yang layak direnungkan, bahkan “menyentil-nyentil” apa2 yang udah gw pegang selama ini.. Saat baca buku itu, beberapa kali bertanya sendiri: “Ini serius nih beneran begini ?? Tapi kok cocok ya ??..” Hehe.. Salah satu konsep …

tadabbur kontekstual..

Bolehkah seorang manusia biasa, dengan latar belakang rata2, dengan profesi2 biasa pada umumnya, mencoba memaknai Qur’an dengan pengetahuan & akalnya sendiri ??.. Tanpa “background” pesantren, ustad, atau apapun yang terkait ke-religiusan ??.. Yang dicari bukanlah tafsir yang ukurannya benar atau tidak, namun untuk bisa mengambil manfaat dari Qur’an (tadabbur), supaya “tune-in” dengan problem2 hidup kekinian bagi dirinya sendiri.. Hasil pikirannya pun tidak dijadikan kebenaran final, tidak juga dia paksakan kepada siapa pun.. Mutlak hanya untuk kebenaran subjektif dia sendiri atas firman Tuhan untuk menjalani hidup.. Bolehkah seseorang “mencabut” konteks dasar dari firman Tuhan yang turun di masa lalu, lalu memaknainya dalam konteks kekinian ??.. Jadi nggak terlalu memperhatikan pembenaran tafsir historisnya, bukan soal kebenaran fakta sejarah, melainkan melahirkan manfaat dari Kitab suci setelah dikaitkan dengan keilmuan seseorang.. Pertanyaan2 ini cukup mengusik pikiran gw saat membaca sebuah buku yang menantang untuk itu.. Buku yang membangun seseorang menjadi pembelajar: “Manusia yang terus mencari kebenaran, tanpa pernah sekalipun merasa paling benar terhadap penafsirannya sendiri..” Contoh, dalam surat yang menceritakan beberapa pemuda yang terkurung di dalam gua selama ratusan …

jago salah juga..

Darryl F. Zanuck, Vice President dari 20th Century Fox (1946) pernah bekata: “Televisi nggak mungkin bisa bertahan di pasar lebih dari enam bulan.. Karena orang bakal bosan dan capek memandangi ‘kotak’ setiap malam..”.. Begitu katanya saat awal2 televisi akan dilempar ke pasaran.. Ternyata, TV cukup laku, dan di tahun 1950an menjadi medium primer untuk mempengaruhi opini publik.. Apalagi ditahun 90an ke atas.. Bisa dibilang, di Indo sini pun masyarakatnya pada punya TV.. Sama sekali nggak terbayang dulunya pernah diprediksi oleh seorang “pakar hiburan”, TV akan gagal di pasaran dalam waktu 6 bulan saja.. Ken Olsen, President & founder of Digital Equipment Corp, tahun 1977 juga pernah bilang: “Nggak ada alasan bagi seseorang untuk memiliki komputer di rumahnya..”.. Dalam waktu yang nggak begitu jauh, mungkin di era 80an, bisa dibilang komputer “mewabah”, dan sebagian besar rumah punya komputer.. Termasuk di Indonesia sepertinya.. Padahal Olsen adalah salah satu “pakar” teknologi di zamannya.. Tau Decca Records ??.. Sebuah perusahaan rekaman lumayan ternama yang me-reject The Beatles.. Nggak tanggung2, para petinggi Decca menyatakan “Grup gitar kayak mereka gitu mah …