
Bolehkah seorang manusia biasa, dengan latar belakang rata2, dengan profesi2 biasa pada umumnya, mencoba memaknai Qur’an dengan pengetahuan & akalnya sendiri ??.. Tanpa “background” pesantren, ustad, atau apapun yang terkait ke-religiusan ??..
Yang dicari bukanlah tafsir yang ukurannya benar atau tidak, namun untuk bisa mengambil manfaat dari Qur’an (tadabbur), supaya “tune-in” dengan problem2 hidup kekinian bagi dirinya sendiri.. Hasil pikirannya pun tidak dijadikan kebenaran final, tidak juga dia paksakan kepada siapa pun.. Mutlak hanya untuk kebenaran subjektif dia sendiri atas firman Tuhan untuk menjalani hidup..
Bolehkah seseorang “mencabut” konteks dasar dari firman Tuhan yang turun di masa lalu, lalu memaknainya dalam konteks kekinian ??.. Jadi nggak terlalu memperhatikan pembenaran tafsir historisnya, bukan soal kebenaran fakta sejarah, melainkan melahirkan manfaat dari Kitab suci setelah dikaitkan dengan keilmuan seseorang..
Pertanyaan2 ini cukup mengusik pikiran gw saat membaca sebuah buku yang menantang untuk itu.. Buku yang membangun seseorang menjadi pembelajar: “Manusia yang terus mencari kebenaran, tanpa pernah sekalipun merasa paling benar terhadap penafsirannya sendiri..”
Contoh, dalam surat yang menceritakan beberapa pemuda yang terkurung di dalam gua selama ratusan tahun.. Namun di pagi dan sore hari, sedikit cahaya matahari masih bisa masuk dan terlihat oleh mereka.. Di-tadabburi secara kekinian: dalam kondisi segelap2nya dan sesempit2nya kondisi kehidupan seseorang, pasti masih ada harapan, masih ada celah untuk bisa mengubah kondisi tersebut..
Karena cahaya adalah ilmu.. So, kalau mau mengubah kondisi, maka belajar lah.. Berupaya mendapatkan ilmu meski sedikit2.. Sudah banyak buktinya kehidupan seseorang berubah karena ilmunya juga “berubah” (baca: bertambah)..
Gw suka istilah yang disematkan untuk melakukan tadabbur2 model kayak gitu: “Tadabbur Kontekstual..”
Sepertinya tanpa sadar gw juga suka melakukannya.. Dulu sempat kepo, ayat2 mana yang bisa dimaknai dan bermanfaat bagi mereka yang bergerak di industri kreatif..
Dalam sebuah postingan lama, ayat yang berbunyi “Hidup adalah permainan…” gw kaitkan dengan teori kreativitas dari sebuah buku.. Jadi tadabbur kontekstualnya: kalau mau jadi orang kreatif, anggaplah hidup ini sebagai game (gamification) / permainan..
Kenapa ?? Karena saat seseorang main game, dia harus belajar sistemnya, mematuhi aturannya, dan mesti meningkatkan kemampuannya untuk menaklukkan boss besar atau level yang lebih tinggi.. Terlebih kalo kepengen jadi “Top Scorer”.. Bisa maen sendiri atau kolaborasi, nggak perlu takut gagal/kalah, karena selalu ada kesempatan untuk mencoba lagi..
Sotoy2nya gw sih, dengan Tadabbur Kontekstual, seseorang jadi bisa mengambil manfaat dari Qur’an yang sejalan dengan profesi atau kelimuan yang dimiliki, juga selaras dengan problema hidup yang dihadapi masing2 diri.. Manfaat yang didapat pun bukan hanya dari “katanya2” dan ikut2an aja, namun dari akalnya yang “mau membaca” sendiri Kitab Sucinya..