me|write, think sotoy
Leave a Comment

merasa[lebih]..

Ada sebuah kisah sufi.. Suatu ketika, seorang pendosa memasuki mesjid.. Di dalamnya dia menemukan orang saleh yang sedang khusyuk berdo’a.. Tanpa diketahui oleh kedua orang itu, ada dua malaikat yang memperhatikan mereka, sebut saja malaikat A dan B.. Malaikat A memegang buku yang isinya catatan2 derajat manusia..

Malaikat B berkata: “Hei, dari dua orang itu, mana yang lebih tinggi derajatnya di sisi Tuhan menurut buku catatan yang kamu pegang ??”.. Kemudian malaikat A melihat buku catatannya, lantas berkata: “Tentu saja orang saleh yang lebih tinggi derajatnya..”

Kemudian, si orang saleh melihat si pendosa.. Lantas ia berpikir: “Huh, buat apa sih orang pendosa seperti dia ini datang ke tempat suci ini, sungguh nggak pantas..”

Si pendosa juga mikir.. Dalam pikirannya ia berkata: “Sungguh aku benar2 malu, orang soleh ini sudah banyak sekali melakukan amalan kebaikan, sedangkan aku, orang yang hina & banyak dosa.. Aku ingin bertobat, wahai Tuhanku..”

Lantas, malaikat A yang buku catatan derajatnya masih terbuka menyadari satu hal pada bukunya.. Ia berkata pada malaikat B: “Eh, tunggu, ada yang berubah..!! Sekarang di buku catatan ini, derajat si pendosa jadi lebih tinggi daripada si orang saleh..!!”

Ukuran manusia itu jabatan, peringkat, kekayaan, karir, dan sejenisnya.. Namun ukuran yg digunakan Tuhan itu derajat.. Yang bikin kita susah ltu, yang namanya “derajat” nggak ada satuannya, nggak ada ukuran pastinya.. Gimana bisa kita “mengukur” orang lain tanpa adanya alat ukur atau takaran pembanding ??..

Ditambah lagi, sedekah bisa sembunyi2, membaca / iqra’ bisa diam2, tahajjud bisa nggak menimbulkan “bekas” pada fisik, dan banyak lagi ibadah yang nggak bisa dilihat “bekas”nya hanya dari ranah “tampak” saja.. Lantas, gimana bisa tau kalo derajat kita lebih baik dari orang lain..

Iblis tuh taat & ahli ibadah, tapi dia dikirim ke neraka gara2 merasa lebih baik dari manusia.. Jebakan “merasa lebih baik” sudah sepatutnya diwaspadai..

Bayangin kalo kita diberi gelar “Ulama” oleh sekitar, gw yakin godaan memiliki rasa “lebih baik” daripada orang lain akan lebih menderu2.. Yg gw sayangkan, gelar ulama di sini bisa diberi dari para “fans”, dan bukan dari karya2 yg dihasilkan seseorang.. Hehe..

Yang sebenernya definisi ulama itu sangat berkaitan dengan keluasan serta kecintaan pada ilmu pengetahuan.. Eh, disini malah digunakan untuk “memaksakan” kehendak kepentingan politik & mencampuri urusan kenegaraan..

Kalo kata Buya Hamka di dalam: “Falsafah Hidup”, cetakan XII (1994),
“Dan tidak perlu negara itu dikutak-katikkan oleh segolongan ulama, karena ‘La Ruhbaniyata fil Islam’.. Islam tidak mengenal sistem kependetaan, sehingga kalaupun ada golongan ulama dalam Islam, itu hanyalah keahlian, bukan golongan yang berkuasa mengutak-atikkan agama..”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s