Erich Fromm (1900-1980), seorang ilmuwan yang sangat tertarik pada sosiologi (bergelar Ph.D), dan juga suka konsep psikoanalisisnya Freud.. Sejumlah kalangan menyebutnya sebagai kontributor penting bagi humanistic psychology..
Pernyataan terkenalnya cukup lucu: “Man’s main task is to give birth to himself..”.. Entah ini lucu apa garing, hehe.. Yang jelas ini bukan dalam hal gender, namun dalam konteks pencarian jati diri.. Erich menyatakan; sebenernya manusia hidup dalam perasaan takut, cemas, dan tidak berdaya, karena hidup “sendiri” dan “terpisah” dari alam..
Menurut studinya; perasaan2 kayak gitu bisa dilawan dengan menemukan / mencari ide2 dan kemampuan diri sendiri yang otentik, “merangkul” keunikan personal diri, serta mengembangkan kemampuan untuk mencintai.. Menurutnya juga, ikut2an saja tanpa kemampuan “membangun” pikiran sendiri, justru semakin membuat kita menjadi asing bagi diri kita sendiri..
Kalo dipikir2, sepertinya keimanan seseorang juga bisa merupakan sesuatu yang bisa disebut otentik.. Karena perjalanan atau “pembangunan” keimanan setiap orang berbeda2.. Ada yang melalui jalan kehidupan biasa2 saja, ada yang melalui jalan penyakit, jalan ilmu, jalan kehilangan, pengucilan, dan masih banyak “jalan2” yang lain, sebagaimana Naruto dengan jalan ninjanya.. hehe..
Seseorang sepertinya memang mesti memberanikan diri untuk mempertanyakan keimanannya sendiri.. Buat seorang muslim, tentu saja dasar hukum tertingginya adalah Al-Qur’an.. Tapi kenapa ya banyak yang percaya gitu aja kata2 habib, ustad, dan penceramah tanpa baca lagi untuk “penyeimbang”..?? Apa kitanya terlanjur menganggap mereka sudah dekat dan kenal dengan Alloh ??..
Cak Nun pernah menyatakan: Sepintar2nya ulama, ustad, habib, atau penceramah ngomongin tentang Alloh, jangan dikira Alloh seperti yang mereka omongin.. Karena Alloh itu “Laysa kamitslihi syai’un”, nggak ada yang menyerupai Dia (QS, 42:11).. Nggak ada ukuran, ada dimana2 kapan saja, jauh sekaligus dekat.. Gimana coba akal manusia bisa menggambarkan yang begitu ??
Masih banyak pertanyaan di kepala gw soal keimanan.. Selain terus belajar dan IQRA’, gw memilih untuk “memfilter” dengan akal sendiri, karena gw sadar di akhirat yang bisa diandalkan hanya diri sendiri (QS. 70: 8-18).. Bukan guru, ustad, habib, atau orang lain.. Nggak mungkin nanti pas gw ditanya terus jawabnya: “Loh, aku kan ngikutin ustad itu, habib onoh, sama ulama ini.. Udah pasti bener dong kaatt (ceritanya malaikat) ..”.. Nggak bisa.. Hehehe..
Keimanan harus dibangun sendiri (dengan tetap berguru, belajar dan IQRA’ banyak2), supaya keimanan bukan jadi sesuatu yang ikut2an, terlebih jadi “alat” untuk menilai keimanan orang lain.. Sebagaimana kata Erich soal pencarian jati diri, keimanan yang otentik sepertinya juga perlu dilahirkan sendiri.. Karena nggak mungkin ada jalan pencarian Tuhan yang sama persis dari setiap diri manusia..