All posts tagged: iqra’

sinergis-iqra’..

Otak bekerja secara sinergis.. Jadi apa2 yang masuk ke otak, akan “bersinggungan” dengan apa yang sudah kita ketahui selama ini.. Kaitannya sama mendapatkan ide gimana ??.. Untuk pencetusan ide, gw paling suka dengan analogi kelereng.. Ibaratnya, isi otak kita adalah kelereng2 listrik, dan masing2 butir kelereng merupakan satu informasi/pengetahuan yang sudah kita ketahui.. Saat ada informasi baru masuk, maka satu butir kelereng baru pun masuk.. Apa yang terjadi saat otak seseorang PENUH dengan kelereng, lantas dimasukkan satu atau lebih kelereng lagi ??.. Kelereng baru tersebut akan menggeser kelereng2 lain, dan menyebabkan kelereng2 yang sudah ada saling beradu / bersinggungan satu sama lain.. Nah, saat kelereng2 saling bersinggungan, keluarlah percikan2 listrik akibat “beradu” itu.. Dan percikan itulah yang disebut IDE.. Itulah kenapa referensi, dan “koleksi” menjadi perlu.. Seorang komikus legendaris umumnya referensi / koleksi komiknya juga banyak, atau seorang pembuat film mumpuni, koleksi filmnya juga banyak, dan seorang ulama sejati koleksi buku2nya pun banyak.. Hal tersebut seakan “mempermudah” mereka untuk mencetuskan ide2 baru atau pemikiran2 yang berbeda saat menyerap informasi2 baru.. Sebaliknya, kalo kelereng di dalam …

gelap2 koq baca..

Belum lama ini taraweh di mesjid, sang ustad bawain ceramah yang cukup keren.. Beliau ngasi penjabaran, atau mungkin lebih tepatnya “pertanyaan” tentang wahyu pertama Iqra’ yang belum pernah terlintas di kepala gw sebelumnya.. Kenapa kok wahyu pertama Iqra’ itu turunnya di dalam gua, dan di malam hari pulak ?? Dimana indera penglihatan kita justru nggak bisa berfungsi secara maksimal.. Malem hari di dalem gua kan gelap.. Eh malah disuruh baca !!.. Begimana coba ?!?.. Apa maknanya ??.. Kan secara umum, dalam gelap gulita begitu, lebih logis kalo wahyu pertama itu “dengar”, bukan “baca”.. Saat mati lampu, kita masih bisa teriak2 kan supaya sekitar kita dengar: “Paraah, lilinnya banyaak, koreknya kagak adaaa..!!” (Pengalaman pribadi..).. Menurut si ustad, ternyata pertanyaan diatas sudah menjadi perbincangan para ulama terdahulu.. Mereka membahas makna proses turunnya wahyu pertama (“gelap2an” malah disuruh baca ini), dengan mengaitkannya pada indera manusia.. Si ustad bertanya: “Ada berapa jumlah indera yang aktif saat kita membaca ??”.. (Dalam konteks membaca buku, karena seakan ada standar kalo buku itu diciptakan untuk dibaca..) Waktu itu di kepala gw ya …

kurung pandang = kurang..

Sejumlah hal yang dulunya gw anggap “oke”, sekarang malah gw pinggirkan jauh2.. Kenape ye kok dulu gw bisa “culun” begitu ??.. Bisa jadi gara2 hal2 di bawah ini: (1.) Dulu masih kurang baca !!.. Wahyu pertama Iqra’ memang luar biasa.. Faktanya pun ada: negara2 maju masyarakatnya punya minat baca yang tinggi.. Apalah artinya jumlah orang kalo pada nggak baca buku ??.. Ya kayak buih di lautan.. Emang banyak sih, tapi nggak ada “isi”, gampang terombang ambing, kena angin dikit aja meletus.. Lucu kalo ada yang ngaku2 ulama ngomong: “Jangan baca ini itu, jangan nonton channel sini sono”.., dan sejenisnya.. Seakan menganjurkan orang pake kacamata kuda.. Jadi nggak bisa ngeliat “bandingan” atau sudut pandang yang lain.. Ibarat orang hanya tau ketoprak, lantas ngomong bahwa ketoprak is the best, nggak perlu tau yang lain, pokoke always ketoprak !!.. (2.) Dulu gw masih kurang mikir..!! Baca doang tapi nggak dipikirin hingga paham bener apa yang dibaca, ibarat makan cuman dikunyah, tapi nggak ditelen.. Buya Hamka menyatakan; “Salah satu guna akal itu untuk membanding2kan”.. Kalo taunya ketoprak doang, mau …

interaksi diri + Qur’an..

Gw ngerasa kita nih seakan lebih sering berinteraksi dengan ‘orang’ dalam belajar agama, dan kurang berani berinteraksi dengan Qur’an langsung secara individu.. Lebih percaya kata2 habib (??), ustad atau penceramah daripada mencoba membaca sendiri.. Padahal wahyu pertama itu kan “BACA” ya, bukan “DENGAR”.. Fritz Perls, seorang Doktoral medicine, kemudian menjadi psikiatris asal Jerman, menulis buku “Gestalt Therapy Verbatim” (1969).. Ia menyatakan “Truth can only be tolerated if you discover it yourself..”.. Semua yang kita ketahui sebenarnya bukan kebenaran objektif, karena lensa persepsi seseorang lah yang membentuk mana benar dan mana salah.. Masalahnya, lensa persepsi kita dibentuk oleh subjektivitas banyak orang.. Jadi menurut Fritz, kebenaran sejati hanya bisa dibangun oleh diri sendiri.. Interaksi dengan Qur’an nggak mesti melalui penafsiran yg terkesan berat, tapi juga bisa melalui cara sederhana seperti Tadabbur = mengambil manfaat (ada di postingan kemaren).. Kalo gw baca2 lagi, memang sepertinya di dalam Qur’an nggak ada pernyataan langsung  / menggunakan kata2 tafsir / menafsirkan untuk berinteraksi dengan Qur’an.. Yang ada justru kata Tadabbur (QS. 4:82 dan QS. 47:24).. Anggaplah gw seorang tukang sayur atau …

baca jadi “sakti”..

Gw lebih mudah terkagum2 sama ustadz yang nggak hanya paham ilmu agama saja, tapi juga nguasain ilmu pengetahuan umum yang lain.. Entah itu fisika nuklir (Agus Mustofa), filsafat atau sastra (Buya Hamka), seni, budaya, psikologi, atau ilmu2 pengetahuan lainnya.. Buat gw orang2 seperti inilah yang sudah membaca ayat2 Alloh dalam 2 wujud.. Pertama, wujud ayat yg tertulis di Qur’an, dan kedua, ayat2 Alloh yang “berwujud” di alam semesta.. Di mata gw, mereka itulah yang sebenar2nya ulama.. Kalo gw perhatikan, mereka2 ini bisa lebih bijak, lebih mendamaikan, lebih praktis, lebih merdeka berpikir, dan nggak neko2.. Mungkin karena mereka dengan akal pikir maksimalnya sudah berhasil menarik banyak “benang merah” antara ayat2 Alloh dari kedua wujud di atas.. Mereka nggak mudah tersinggung kalo dikomentari atau dilabeli apapun.. Terkesan mendalami kedua wujud ayat2 Alloh itu jauh lebih menarik ketimbang meladeni tanggapan2 yang nggak penting.. Karena mau setuju atau nggak sama pemikiran mereka, ya terserah masing2 aja.. Ada satu ulama yang gw tau sendiri rumahnya, pernah masuk ke dalam sana, meski saat itu beliau sudah almarhum.. Sejumlah buku pernah ditulisnya.. …